Nuklir Pasca Fukushima



Kecelakaan nuklir di manapun selalu memperburuk kepercayaan publik terhadap teknologi PLTN. Di Indonesia tingkat penerimaan terhadap nuklir sempat mencapai 59,7% sebelum perisitiwa Fukushima. Angka itu lalu jatuh ke angka 49,5% pasca kecelakaan Fukushima tahun 2011. Namun perlahan angka itu naik menjadi 52,9% menjelang akhir 2012. Bagaimana nasib nuklir sebagai alternatif pembangkit listrik di masa depan?
Di Jepang, dari 52 unit PLTN yang ada hanya dua yang beroperasi. Selebihnya ditempatkan pada posisiidle, menunggu keputusan boleh-tidaknya dioperasikan lagi. Dampak sosial dihentikannya mayoritas PLTN di Jepang sudah dirasakan masyarakatnya, seperti naiknya biaya energi dan terhambatnya ekonomi di negeri yang 30% energinya bergantung kepada nuklir. PM Shinzo Abe yang sekarang memerintah terkesan sangat hati-hati mengenai kelanjutan PLTN tersebut, walaupun mayoritas walikota di daerah dalam radius 30 km setuju PLTN beroperasi lagi. Ia mengatakan bahwa pihaknya akan mengkaji-ulang keinginan PM sebelumnya untuk menutup semua PLTN Jepang. Abe bahkan mengatakan dalam wawancara TV pertamanya setelah terpilih bahwa ia akan membangun PLTN desain baru yang jauh lebih aman untuk membangun perekonomian Jepang. 
Namun begitu, bicara tentang PLTN merupakan hal yang sangat sensitif di Jepang. Tampaknya, keputusan untuk me-restart 50 PLTN yang sedang menganggur itu akan sulit dilakukan sebelum bulan Juli 2013, saat mana Majelis Tinggi Jepang yang baru akan terbentuk dan bersidang. Bulan Juli itu juga merupakan tenggat waktu bagi Badan Pengawas Nuklir Jepang, yang merupakan badan baru dan independen, menyusun aturan terkini mengenai persyaratan beroperasinya PLTN di Jepang. Sementara itu, upaya Jepang untuk mengekspor PLTN ke luar negeri terus dilakukan. Sebagaimana diberitakan Media Indonesia, 12 Februari, Jepang membidik Saudi Arabia sebagai tujuan ekspor PLTN nya. Sebelumnya Jepang telah mengikat deal dengan Vietnam.
Di Jerman, keputusan untuk menutup PLTN semakin mendapat dukungan pasca Fukushima. Listrik dari nuklir dibebani pajak yang tidak dikenakan kepada moda pembangkitan listrik lain. Pajak yang ditimpakan karena “menimbulkan rasa ketakutan” itu tentu saja berbau diskriminatif, dan dijadikan cara mudah untuk menambah devisa. Baru-baru ini pajak kontroversial tersebut dinyatakan oleh pengadilan pajak Hamburg sebagai “inkonstitusional” dan diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Hikmah dari semua itu adalah semakin hebatnya pengembangan energi terbarukan (ET). Tentu saja ini hal ini baik bagi diversifikasi energi dan lingkungan hidup. Tapi menafikan energi nuklir menjadi beban yg cukup mahal. Kini mereka harus mengimpor listrik lebih banyak dari negara tetangga seperti Perancis, yang nota bene menghasilkan hampir 80% listriknya dari nuklir.
Permasalahan lain dengan ET yang digunakan di sana adalah bahwa sumbernya berada di utara, sedangkan sebagian besar industri berada di selatan, sehingga muncul biaya transmisi tambahan. Belum lagi sifat ET yang tidak stabil tergantung keadaan cuaca, intermiten, dan umumnya berkapasitas rendah. Skema feed-in tariff yang diterapkan di sana ujung-ujungnya membebankan konsumen juga.
Bagaimana negara-negara lain? Inggris dan Amerika Serikat nyaris tidak terpengaruh oleh kecelakaan nuklir Fukushima. China dan Korea sempat terpengaruh sesaat, namun setelah kaji-ulang terhadap keselamatan, mereka semakin memantapkan program PLTN. UEA, Turki, Bangladesh dan Vietnam jalan terus dengan pembangunan proyek PLTN mereka. Sementara tahap persiapan di negara jiran seperti Malaysia, Filipina, Thailand, terus berjalan.
Memang kebutuhan energi yang sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan ekonomi di tengah-tengah terkurasnya sumber daya bahan bakar fosil, merupakan suatu yang tidak bisa dihindari. Menurut Laporan Dewan Energi Dunia (WEC) semakin mahalnya harga energi akhir-akhir ini ditambah resesi global, ketidakmenentuan politik dan perubahan iklim, telah mengurangi kekhawatiran para pemimpin energi dunia terhadap PLTN. Laporan itu juga menyebutkan bahwa pengembangan ET dan peningkatan efisiensi energi merupakan teknologi yang perlu diupayakan. Laporan itu dibuat berdasarkan survey terhadap para menteri, CEO, dan pakar energi dari 90 negara.
Sedangkan di Indonesia, masalah PLTN dan bahkan bauran energi secara umum, akhir-akhir ini tampaknya tertutup oleh isu politik yang lebih menarik. Namun begitu, upaya diversifikasi energi harus terus dilakukan di tengah-tengah mulai mahalnya harga BBM dan semakin terasanya dampak perubahan iklim akibat penggunaan bahan bakar fosil secara berlebihan. Energi terbarukan merupakan salah satu opsi penting, walaupun disadari sumber energi ini di Indonesia tidak akan mencukupi karena kondisi geografis yang kurang ideal untuk jenis tenaga angin dan surya. Sementara potensi sumber geothermal yang ada jauh di bawah kebutuhan masa depan bangsa ini yang diharapkan menjadi 10 besar dunia pada tahun 2030. Oleh karena itu, bagaimanapun, tenaga nuklir harus diupayakan. Jangan didiskriminasi.
Salah satu hikmah peristiwa Fukushima adalah pengetahuan umum masyarakat tentang pemanfaatan nuklir semakin baik. Indikasinya adalah hasil survey BATAN yang menunjukkan bahwa proporsi masyarakat yang menjawab “tidak tahu” tentang nuklir semakin berkurang. Masyarakat semakin sadar perlunya mengutamakan keselamatan dan tidak boleh merasa cepat puas dengan tingkat keselamatan nuklir yang selama ini diketahui sudah sangat baik dengan budaya keselamatannya.(Ferhat Aziz : Deputi Kepala BATAN Bidang Pemanfaatan Hasil Litbang dan Pemasyarakatan Iptek Nuklir)
(telah dimuat di kolom  Opini Harian Media Indonesia, 28 Februari 2013)

0 comments:

Post a Comment